Warta

Mengenang Cerita Prof Dr KH Said Aqil Siraj di Balik Lahirnya Hari Santri Nasional 

Kala itu, Prof Dr KH Said Aqil Siraj dengan tegas menjawab bahwa hal itu tidak akan terjadi. Kiai Said merujuk pada fakta bahwa ada peringatan Hari Buruh, Hari Guru, dan hari-hari besar lainnya yang tidak menimbulkan polarisasi atau perpecahan.

Mengenang Cerita Prof Dr KH Said Aqil Siraj di Balik Lahirnya Hari Santri Nasional

Meta Deskripsi: Mengulik cerita di balik perjuangan Prof Dr KH Said Aqil Siraj dalam memperjuangkan lahirnya Hari Santri Nasional, sebuah pengakuan terhadap peran serta santri dalam pembentukan dan pembelaan negara Indonesia.

 

Di balik kebijakan besar, selalu ada cerita dan perjuangan yang mengharu biru. Begitu pula dengan lahirnya Hari Santri Nasional (HSN) yang sekarang diperingati setiap tanggal 22 Oktober.

 

Lahirnya HSN tidak lepas dari peran serta Prof Dr KH Said Aqil Siraj, yang saat itu sebagai Ketua Umum PBNU.

 

Kiai Said menceritakan, ikhtiar dibuatnya HSN dimulai saat kampanye presiden 2014. Kala itu Joko Widodo (Jokowi), calon presiden saat itu, berjanji akan membuat Hari Santri Nasional apabila terpilih menjadi Presiden.

 

“Janji itu tidak berhenti menjadi angin lalu. Namun menjadi komitmen nyata saat Jokowi memenangkan pemilihan,” kenang Kiai Said.

 

Tanggal berapa enaknya HSN ditetapkan? Kiai Said mengenang, penetapan tanggal HSN itu awalnya dipilih tanggal 1 Muharram.

 

“Namun saya memberi refleksi mendalam bahwa 1 Muharram sebagai awal tahun hijriyah adalah milik umat Islam seluruhnya,” kenangnya.

 

Maka, Kiai Said pun menyampaikan usulan kepada Presiden untuk menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tanggal itu di mana KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad.

 

“Resolusi ini adalah penegasan bahwa membela tanah air adalah kewajiban yang sama pentingnya dengan salat lima waktu,” terang Kiai Said.

 

Proses dialog dan diskusi pun terus bergulir. Presiden Jokowi kemudian memerintahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk mengadakan FGD dengan seluruh ormas Islam. Beberapa narasumber yang hadir, seperti Prof Dr Azyumardi Azra dan Dr Abdulah Syarwani, menyumbangkan pemikiran dan perspektif mereka dalam diskusi yang berlangsung di Hotel Salak, Bogor.

 

Momen bersejarah itu menjadi lahan diskusi kritis. Menghasilkan kesepakatan bersama dari berbagai ormas Islam, termasuk Muhammadiyah, untuk mendukung penetapan Hari Santri Nasional. Namun, belakangan Muhammadiyah mengirimkan surat kepada Presiden untuk membatalkan penetapan Hari Santri agar tidak terjadi polarisasi antara santri dan non-santri.

 

Kala itu, Prof Dr KH Said Aqil Siraj dengan tegas menjawab bahwa hal itu tidak akan terjadi. Kiai Said merujuk pada fakta bahwa ada peringatan Hari Buruh, Hari Guru, dan hari-hari besar lainnya yang tidak menimbulkan polarisasi atau perpecahan.

 

“Alhasil, dengan rasa syukur, SK tentang Hari Santri Nasional pun dikeluarkan oleh Presiden,” jelas Kiai Said.

 

Perayaan perdana pun diadakan dengan khidmat di Tugu Kemerdekaan, Jakarta. Acara itu dihadiri oleh berbagai pejabat tinggi negara, termasuk Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo.

 

Hari Santri Bukan Hanya Simbol

 

“Ini adalah sebuah penghargaan dan pengakuan terhadap peran serta santri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pengorbanan dan kebesaran santri dalam membela tanah air dan agama, kini mendapatkan tempat yang terhormat dalam bentuk peringatan Hari Santri Nasional,” tutur Kiai Said.

 

Hari Santri Nasional bukan hanya sekedar simbol atau peringatan tahunan, tapi menjadi pengingat akan spirit santri yang telah berjuang. Berkorban untuk negeri ini. Momentum ini menjadi refleksi atas dedikasi dan keteguhan santri dalam menjaga nilai-nilai luhur dan integritas bangsa dari masa ke masa.

 

Kiai Said, dalam peran pentingnya, tidak hanya mengawal proses penetapan hari ini tapi juga menjaga agar esensi dan makna dari hari ini tetap terjaga. Sebuah perjalanan yang tidak mudah. Dengan berbagai diskusi, pertemuan, dan juga dialog-dialog kritis yang mengiringi proses penetapan Hari Santri Nasional.

 

Hotel Salak, Bogor, menjadi saksi bisu atas berlangsungnya diskusi yang menghasilkan titik temu dan kesepakatan. Suasana penuh kharisma dan dedikasi terasa menggema dalam ruangan, saat para pemikir dan tokoh Islam duduk bersama membahas dan menyepakati konsep dari Hari Santri Nasional.

 

Dari mata Prof Dr KH Said Aqil Siraj, terlihat jelas bagaimana beliau dengan penuh perhatian dan ketegasan menyampaikan setiap argumen dan pemikirannya. Fokus Kiai Said adalah bagaimana Hari Santri Nasional bisa benar-benar mencerminkan penghargaan terhadap perjuangan dan pengorbanan santri dalam sejarah bangsa dan negara.

 

Proses ini juga mencerminkan bagaimana toleransi dan musyawarah sangat dijunjung tinggi. Setiap suara, dari berbagai elemen, diberikan ruang untuk disampaikan dan didiskusikan dengan sangat terbuka dan demokratis.

 

Peringatan Hari Santri Nasional yang pertama di Tugu Kemerdekaan juga mencerminkan suatu bentuk penghormatan dan apresiasi yang tinggi dari negara. Tugu Kemerdekaan, yang menjadi simbol kebebasan dan perjuangan bangsa Indonesia, kini juga menjadi saksi bisu atas penghormatan kepada santri yang telah berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.

 

Jadi, dalam setiap perayaan Hari Santri Nasional, kita diingatkan bukan hanya tentang sejarah, tapi juga tentang bagaimana spirit santri harus terus dihidupkan dan diwariskan kepada generasi-generasi penerus bangsa.

 

“Ini adalah wujud nyata dari penghargaan dan apresiasi kepada para santri yang dengan ikhlas telah mengabdikan dirinya demi agama dan bangsa,” tandas Kiai Said. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button