Bingung Menghadap Kiblat, Berikut Solusinya
Bagaimana menghadap kiblat yang seharusnya? Apakah harus ke bangunan Ka'bah atau arahnya saja? Apakah ke barat atau ke barat laut (serong ke kanan)?
Bagaimana menghadap kiblat yang seharusnya? Apakah harus ke bangunan Ka’bah atau arahnya saja? Apakah ke barat atau ke barat laut (serong ke kanan)?
Pada akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010, banyak sekali koran-koran yang memberitahukan bahwa 80% masjid di Indonesia itu kiblatnya salah. Hal ini menimbulkan banyak keresahan di masyarakat Indonesia, konon keresahan ini dipicu oleh penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli astronomi. Sehingga banyak masyarakat yang menanyakan hal ini kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Selanjutnya, KH. Ali Mustafa diminta oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menuliskan makalah tentang menghadap kiblat dalam shalat dan ibadah-ibadah yang lain. Hal ini di karenakan banyaknya pertanyaan dari masyarakat kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama tentang masalah ini.
KH. Ali Mustafa Yaqub mememberikan pemaparan dalam bukunya Alqiblah A’la Dhouil Kitab wa Sunnah (2010).
Keadaan orang dalam sholat itu tidak lepas dari dua keadaan, mampu untuk melakukan shalat dengan menghadap kiblat dan tidak mampu untuk menghadap kiblat.
Para ulama telah bersepakat bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat, kecuali shalat yang dilakukan dalam dua kondisi. Yaitu, ketika shalat syiddah al-khauf dan shalat sunnah. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT.
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗۙ
Artinya : “Dari mana pun engkau (Nabi Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya”
Lalu bagaimana dengan orang yang berada jauh dari Ka’bah seperti negara Indonesia dan lainnya yang tidak melihat Ka’bah.apakah ia wajib menghadap ke bangunan Ka’bah atau hanya arah nya saja? Maka dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat pendapat.
Mayoritas ulama mazhab Hanafi dan Maliki bahkan semua ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah.
Namun mayoritas madzhab masyarakat Indonesia yaitu madzhab imam Syafi’i terdapat dua pendapat.
Dalam kitab al-umm karya imam al-Syafi’i (204 H) menjelaskan bahwa yang wajib dalam berkiblat adalah menghadap secara tepat ke bangunan Ka’bah. Karena, orang yang diwajibkan untuk menghadap kiblat, ia wajib menghadap ke bangunan Ka’bah, seperti halnya orang Makkah. Ulama yang berpendapat bahwa yang wajib adalah bangunan Ka’bah itu mendasarkan pendapatnya pada Hadits Ibn Abbas ra, yaitu:
عَنْ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “dari ‘Atha’ berkata, aku mendengar Ibnu ‘Abbas berkata, “Ketika Nabi ﷺ masuk ke dalam Ka’bah, beliau berdoa di seluruh sisinya dan tidak melakukan salat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian salat dua rakaat dengan memandang Ka’bah lalu bersabda, “Inilah kiblat”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini juga berasal dari Usamah bin Zaid.
Syaikh Ibrahim al-Baijuri berkata dalam kitab Hasyiah-nya: “Perkataan penulis (Ibn Qasim al-Ghazi): ‘Menghadap kiblat’, maksudnya adalah menghadap kepada bangunan Ka’bah, bukan kepada arah Ka’bah.
Sedangkan Imam Al-Muzanni (murid Imam al-Syafi’i) mengutip teks yang jelas dari gurunya, beliau mengatakan bahwa yang wajib adalah menghadap ke arah Ka’bah. Karena, seandainya yang wajib itu menghadap kepada bangunan Ka’bah secara fisik, maka shalat jama’ah yang shafnya memanjang (melebihi lebar Ka’bah) itu tidak sah, sebab di antara mereka terdapat orang yang menghadap ke arah di luar dari bangunan Ka’bah.
Ulama yang berpendapat bahwa yang wajib adalah arah Ka’bah itu berargumentasi dengan Hadis Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi Saw bersabda:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
Artinya: “Arah antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. al-Tirmidzi, dan menurut beliau Hadis ini Hasan Shahih)
Hadis ini juga diriwayatkan secara Shahih dari Umar bin al-Khattab ra. dengan status mauquf.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa penduduk yang berada di sebelah timur Ka’bah seperti Indonesia, kiblat nya adalah arah barat.
Penyebab perbedaan pendapat ulama tentang masalah kiblat bagi orang yang tidak melihat bangunan Ka’bah karena adanya dua hadits berbeda di atas.
Sebagaimana ketentuan dalam ilmu hadits bahwa jika ditemukan sebuah Hadist berbeda dengan Hadits yang lain, sedangkan kedua Hadis tersebut sama-sama Shahih, maka dalam memahami nya melalui metode jama’ yakni mengkompromikan antar dua Hadits tersebut dengan memberlakukannya sesuai dengan konteks nya masing-masing.
Lalu melalui buku ini kiai Ali menyampaikan rekomendasi, khususnya bagi kaum muslimin Indonesia untuk menghadap ke arah Ka’bah, insya Allah pendapat yang kuat (al-rajih). Karena pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat dan jelas. Selain itu, dengan mengacu pada dalil ini, berarti telah mengamalkan dia dalil yang berbeda tanpa mempersulitnya.
Penulis: Muhammad Nabil Akram
Santri Pondok Pesantren Salafiyah Terpadu Al-Um





