Menyulutkan Api Kepemimpinan Pak Kiai (KH Achmad Sjaichu) Kepada Santri
penguatan strategi serta pola pendidikan kepada generasi penerus dengan menekankan pendidikan nilai, pendidikan karakter, bahwasanya kita (santri) tahu bahwa pendidikan karakter dan pendidikan nilai memang tidaklah cukup diajarkan dengan lisan, (ceramah, pengajian, dan pengajaran kajian kitab kuning) dan sejenisnya, akan tetapi diperlukannya uswah atau keteladanan yang menjadi pondasi pendidikan di lingkungan pesantren.
Menyulutkan Api Kepemimpinan Pak Kiai (KH Achmad Sjaichu) Kepada Santri
Oleh: Abdul Majid Ramdhanie
Terjadinya krisis kepemimpinan yang hari ini tidak lagi mengutamakan kepentingan orang-orang banyak, termasuk umat dan rakyat Indonesia, sebagaimana potret aksi massa di Pati, Jawa Tengah yang ramai di pemberitaan.
Sudah sepatutnya diperlukan beberapa terobosan atau “gebrakan,” kalau meminjam istilah Gen Z dan solusi alternatif untuk menjembatani problem diatas, (Demontrasi Massa Atas Pemakzulan Bupati Pati, Sadewo) beberapa hari yang lalu.
Salah satunya adalah bagaimana strategi untuk menyiapkan para generasi penerus bangsa yang memiliki jiwa kepemimpinan profesional dan mampu mengemban amanah.
Jika kita (santri) bersedia untuk membuka kembali catatan sejarah, banyak sekali di Indonesia ini Ulama-ulama, Kiai-kiai serta tokoh bangsa yang menjadi tokoh utamanya dalam kepemimpinan.
Sebagaimana pola yang menonjol pada diri para salafussholih, ialah menghadirkan wajah kepemimpinan yang memancarkan keteladanan dan kejernihan hati serta niat tulus dalam mengabdi serta berbakti kepada negeri.
Hal-hal yang demikian, bisa dimulai dari penguatan strategi serta pola pendidikan kepada generasi penerus dengan menekankan pendidikan nilai, pendidikan karakter, bahwasanya kita (santri) tahu bahwa pendidikan karakter dan pendidikan nilai memang tidaklah cukup diajarkan dengan lisan, (ceramah, pengajian, dan pengajaran kajian kitab kuning) dan sejenisnya, akan tetapi diperlukannya uswah atau keteladanan yang menjadi pondasi pendidikan di lingkungan pesantren.
Baik kalangan masyarakat di luar pesantren maupun kalangan santri, jika dilihat lebih dekat mereka sangat kental dengan cerminan ketokohan (figur) dari seorang kiai.
Dalam buku karya Kiai Saifuddin Zuhri: “Berangkat dari Pesantren” (keteladanan dari seorang kiai digambarkan melalui pendekatan personal dan mendalam terhadap murid (santri-santri), serta komitmennya pada pendidikan yang holistik, yang artinya pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik/santri secara seimbang, dan meliputi aspek: intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.
Pendidikan holistik tersebut menekankan pada pentingnya pengalaman belajar yang bermakna dan terhubung dengan kehidupan nyata, sesuai dengan realitas yang ada serta pengembangan karakter dan kesadaran sosial dimana para guru, ustaz/ustazah, pengasuh pesantren termasuk Pak Kiai dan Bu Nyai tidak hanya berfokus pada pengembangan diri santri semata, dan
pendidikan holistik tidak lagi mengejar pencapaian akademis, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan emosional, perkembangan sosial, kesehatan fisik, dan pembentukan nilai-nilai spiritual ditandai dengan terciptanya lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan mendukung eksplorasi, kreativitas, serta kolaborasi santri dalam segala aspek kehidupan.
Dengan pendekatan yang menyeluruh serta berpusat pada peserta didik, pendidikan holistik dapat menghasilkan individu yang seimbang, kreatif, bertanggung jawab, dan siap siaga dalam menghadapi segala tantangan zaman di masa depan.
Terkait itu, penulis menemukan peranan dan contoh nyata pada nilai-nilai luhur kepemimpinan yang tumbuh subur dalam jiwa salah satu tokoh bangsa yang sekaligus seorang Kiai yakni KH Achmad Sjaichu yang kiprahnya telah diakui oleh negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Beliau, Pak Kiai (KH Achmad Sjaichu) telah menyulutkan kembali nyala “Api Kepemimpinan, ia seorang tokoh, figur, sosok dan uswah (keteladanan) bagi para santrinya.
Seberkas harapan atas peran KH Achmad Sjaichu yang kita (santri) bisa ‘mengambil’
inspirasi dan spirit leadership (kepemimpinan) beliau, Kiai Achmad Sjaichu ditengah-tengah kondisi bangsa yang kian kehilangan arah dan jati diri.
Sebuah catatan yang terserak dan tidak berada pada rak-rak buku perpustakaan pesantren. Buku karya penulis Ahmad Mansur Suryanegara: API SEJARAH 2: Buku yang akan Menuntaskan Kepenasaran Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia, termaktub dalam buku tersebut.
Adapun ketertarikan penulis saat menemukan halaman berjudul:
“Jawaban Partai NU terhadap Dewan Revolusi”
Dalam buku ini digambarkan dengan jelas peranan KH Achmad Sjaichu,
(Sewaktu Letnan Kolonel Untung mengumumkan melalui RRI, menurut Choirul Anam, PBNU Ketua III yakni KH. Achmad Sjaichu mengirim teks kepada Redaksi Surat Kabar Duta Masyarakat pada tanggal 1 Oktober, 1965, Hari Jum’at 5 Jumadil Akhir 1385:
1 . Mengutuk tindakan kudeta yang dipimpin oleh Letkol Untung
2. Agar segenap umat Islam umumnya serta warga NU khususnya tetap membantu ABRI
3. Segenap warga Nahdliyin, siap siaga terhadap gerakan kontra revolusi dengan nama Gerakan 30 September/PKI
Pernyataan yang sama diikuti oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Setelah RRI dikuasai kembali, NU dan GP Ansor menyatakan penuh keberpihakannya kepada ABRI.
(Pada 2 Oktober 1965, Sabtu Pahing, 6 Jumadil Akhir 1385 H, pimpinan muda NU, H. M. Subhan Z. E. membentuk Komando Aksi Pengganjangan Kontra Revolusi 30 September (KAP) Gestapu. Dengan Sekretaris Jenderal Harry Tjan SH dari Partai Katolik dan Sekretaris Ketua Pergerakan Massa, Lukman Harun dari Persyarikatan Muhammadiyah, serta Syafruddin Harahap dari HMI. Demikian pula dari generasi muda Muhammadiyah membentuk Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM).)
Dan atas restu Menteri PTIP Mayjen Syarif Thayeb terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI) PUSAT 25 Oktober 1965 dengan Ketua Zamroni dari PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Ketua Bidang Massa Cosmas Batubara (PMKRI), Sekretaris Jendral Mari Muhammad (HMI), Bendahara Teuku Hamzah (SEMMI), KEMUDIAN disusul dengan KAMI Jakarta, Ketua Firdaus Wadjdi, (HMI,) Team Ketua Fahmi Idris dan Sumarno Dipodisastro (HMI), serta Liem Bian Koen (PMKRI). (hal. 443, API SEJARAH 2, Ahmad Mansur Suryanegara, terbitan Salamadani, Bandung).
Menemukan potret Pak Kyai (KH Achmad Sjaichu, sebagai Sekretaris Organizing Committee Asia Afrika, (kiri) dan DR. KH Idham Chalid, sebagai Ketua Organizing Committee Konferensi Asia Afrika) diibaratkan seperti menemukan mutiara di tengah lautan.
KH Achmad Sjaichu dalam beberapa redaksi telah dibahas juga tentang perjuangan, pergerakan dan pemikirannya dimana beliau adalah tokoh sentral Nahdlatul Ulama di kawasan Depok, Jawa Barat dan sekitarnya. Bahkan namanya harum hingga ke mancanegara.
Dalam hemat penulis yang juga alumni dari Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Pesantren yang didirikan KH Achmad Sjaichu, dengan itu secara historis tentu dapat dibaca kembali halaman demi halaman sejarah atas peran Ulama dalam menegakkan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi, hanya saja teramat disayangkan di lain sisi dalam penulisan sejarahnya dan Sejarah Sebagai Materi Tulisan, acapkali dihapuskan didalamnya Ulama sebagai peran utama. Tetapi dalam buku API SEJARAH 2: karya Ahmad Mansur Suryanegara nama Ulama-ulama bangsa ini dicatat secara rinci baik peran, kiprah dan perjuangan dakwahnya.
Hal ini mempertegas kita sebagai santri, bahwa kekuatan materi, senjata, dana, serta jumlah pengikut bukanlah jaminan kekuatan keberhasilan dalam menyumbangkan sejarah bagi perjuangan bangsa, melainkan adanya atau hadirnya pemimpin-pemimpin bangsa yang total mempersembahkan dirinya untuk mengabdi kepada negara ini.
Buku SEJARAH API 2 ini mengusik kegelisahan penulis, “Jangan Padamkan Nyala Api Perjuangan Ulama-ulama Nusantara, Sebab Ulama adalah cahaya keteladanan umat,”
Ada satu lagi kutipan yang bisa kita renungkan;
“Ketika pesantren masih kecil dengan sedikit santri, pesantren sepenuhnya milik lembaga desa, tempat anak-anak belajar. Ketika pesantren sudah membesar, ia akan lepas dari desanya dan berdiri sendiri. Akhirnya, menjadi lembaga yang terasing dari desanya.” (Kutipan Dr. Kuntowijoyo, Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada,(sumber: Paradigma Islam, Mizan.)
Kekuatan materi, senjata, dana, serta jumlah pengikut bukanlah jaminan kekuatan keberhasilan dalam menyumbangkan sejarah.
Jangan Padamkan Api Perjuangan
Ketika pesantren masih kecil dengan sedikit santri, pesantren sepenuhnya milik lembaga desa, tempat anak-anak belajar. Ketika pesantren sudah membesar, ia akan lepas dari desanya dan berdiri sendiri. Akhirnya, menjadi lembaga yang terasing dari desanya. Dr. Kuntowijoyo, Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada,(sumber: Paradigma Islam, Mizan)
Admin: AMH




